PILKADA serentak tahun 2018 yang jatuh pada 27 Juni 2018 bertepatan dengan sepuluh hari setelah hari raya lebaran. Berbagai anggapan bahwa momentum lebaran yang menjadi hari raya terbesar di Indonesia dengan perputaran uang dalam jumlah fantastis bakal dijadikan momentum untuk menentukan pilihan final kepala daerah yang akan dicoblos.
Anggapan tersebut terus menggulung hingga menciptakan gelombang common sense bahwa momentum pilihan final di lebaran akan menjadi kenyataan. Seperti tradisi Lebaran dari tahun ke tahun, ada tiga momentum yang bakal terjadi.
Pertama, munggahan yang kental di akar budaya Sunda, bermakna sebagai ungkapan rasa syukur atas datangnya bulan Ramadhan. Munggahan kemudian diartikan sebagai ajang untuk berbagi rasa syukur dengan bersedekah membagikan sejumlah uang. Di sinilah pijakan awal pragmatisme politik terjadi di kalangan lapis bawah pada momentum Pilkada serentak 2018.
Kalangan akarpadi ini juga akan menanti datangnya munggahan dalam bentuk uang atau bingkisan dari para bakal calon kepala daerah. Melalui struktur atau non struktur tim pemenangan. Bagi yang ingin berhemat munggahan hanya diberikan kepada struktur tim pemenangan dan orang terdekat sang calon atau tokoh tertentu yang berkharisma.
Kedua, Lebaran menjadi momentum luar biasa bagi mayoritas warga Bogor yang muslim. Tak hanya warga yang tinggal di Bogor, kerabat di daerah lain pun kembali ke Bogor sebagai kampung halaman mereka tempat dilahirkan dan dibesarkan. Tak terkecuali Bogor. Dengan jumlah penduduk mencapai 5,7 juta orang tak hanya warga non Bogor yang mudik, justru Bogor menjadi tujuan mudik.
Inilah yang kemudian menjadi momentum untuk berbagi kain sarung, aneka bingkisan lain sebagai bentuk ucapan rasa syukur. Momentum inilah yang bakal ditunggu masyarakat kepada para calon bupati, walikota dan gubernur di Pilkada serentak 2018. Pembagian aneka hadiah menjadi bukti pragmatisme sebagian rakyat menghadapi hajatan politik lima tahunan.
Ketiga, hari H pencoblosan pada 27 Juni 2018 adalah hari di mana tiga hari sebelumnya atau pada malam hari, beroperasinya tim sapu bersih untuk “membeli suara” dengan imbalan antara Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu per kepala atau per keluarga. Dengan harapan warga yang menerima itu akan memilih calon kepala daerah yang dimaksud si pemberi uang. Di sinilah bakal terjadi ajang transaksi besar penukaran uang baik di bank ataupun di titik lokasi yang punya uang receh besaran Rp 10 ribu sampai Rp 50 ribu.
Ajang transaksi politik yang menggadaikan idealisme dan hasrat memiliki pemimpin yang membela mereka akhirnya digantikan uang recehan dan terpaksa punya pemimpin pragmatis, hedonis dan mencari rente dari kue APBD yang merupakan uang rakyat untuk kepentingan pribadi dan partai pendukungnya.
Ketiga momentum tersebut di atas bukanlah rahasia semata. Nyaris semua warga membicarakan tema dan menanti adanya trickle down effect dari kaum The Have atau pemilik modal kepada kaum marginal yang dalam dunia akademis sering disebut kaum proletar. Kucuran duit ini yang membuat Pilkada dimanfaatkan sebagai ajang pemenangan bagi diri sendiri, kelompok untuk eksistensi dan kebahagiaan bersama warga di semua lapisan.
Kini tinggal pasangan calon dan tim pemenangan untuk menyiasati tiga momentum besar yang perlu diantisipasi cermat. Kebijaksanaan, kebajikan dengan niat tulus untuk beribadah kepada Allah SWT diiringi pengorbanan hanyalah setimpal dengan ganjaran terbaik dari Sang Penguasa Sejati Allah SWT.
Uraian soal nilai ibadah bukan ditakar materi semata dari manusia, namun manusia dapat mengukur keikhlasan dan ketulusan melalui perantara sang pemberi dengan suara hati kecil mereka. Dengan refleksi mendalam dari pengamatan, pembicaraan Warung kopi antar sejawat dapat menjadi milestone dalam menentukan pilihan pemimpin mereka selama 5 tahun mendatang. Tabik***
Penulis : Pemimpin Redaksi www.politikabogor.com
Discussion about this post