Jakarta – Terkait kebutuhan biaya, baik dari APBN maupun APBD, rencana merevisi Undang Undang (UU) Pemilihan Umum (Pemilu) serentak pada 2022-2023, perlu ada kepastian dirubah atau tidak nya UU yang lalu.
“Revisi UU Pemilu harus segera memberikan kepastian soal pilkada 2022 atau2023, khususnya untuk pilkada 2022 agar anggaran Pilkada di APBN dan APBD karena anggaran Pilkada APBD harus sudah ketok palu pada 2021,” ujar Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini dalam diskusi daring, Minggu (24/1).
Menurut Titi, Pilkada 2022 dan 2023 memiliki urgensi untuk digelar. Mengingat siklus pemilihan bagi daerah yang sebelumnya digelar pada 2017 dan 2018. Pada UU Pilkada yang berlaku, Pilkada akan digelar pada 2024.
Pilkada itu digelar serentak dengan Pilpres, serta Pileg. Titi menilai, Pilkada 2024 tidak dimungkinkan. Khawatir akan mempengaruhi kualitas dan integritas pemilihan serta potensi memicu terjadinya kekacauan teknis manajemen kepemiluan.
“Dari segi teknis dan beban serta isu, Pilkada tidak feasible atau tidak memungkinkan untuk digelar pada 2024,” jelasnya. Namun, bila pembahasan revisi UU Pemilu tidak mengejar penyelenggaraan Pilkada 2022, Titi mengusulkan bisa digabungkan di Pilkada 2023.
“Ini salah satu pilihan. Yaitu kalau kami mengusulkan pada Februari 2023 di awal tahun, kenapa ? agar tidak bersinggungan dengan persiapan pemilu 2024,” jelas Titi. Ada juga alternatif lain agar tidak mengganggu jalannya pembahasan RUU Pemilu. Titi mengusulkan revisi terbatas pada Pasal 201 UU No.10 Tahun 2016 tentang Pilkada, serta pemerintah bisa menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu).
Hanya saja, usulan ini harus ada kompromi dari DPR dan pemerintah. Menurutnya, pemerintah tidak memiliki argumentasi kuat Pilkada tidak bisa digelar pada 2022 dan 2023. Dia mengutip pernyataan Mendagri Tito Karnavian tidak menginginkan daerah dijabat bukan pejabat definitif.
“Harusnya Mendagri tidak menarik perkataannya, bahwa tidak mau ada daerah dijabat bukan pejabat definitif. Sehingga kalau dengan alasan itu, tidak ada argumen kuat untuk menolak Pilkada di 2022 dan 2023,” ucapnya.
Menanggapi hal tersebut, anggota Badan Legislasi DPR RI Fraksi PKS, Bukhori Yusuf menilai, pemisahan Pemilu antara pusat dan daerah seperti di negara federal. Hal itu disampaikan dalam konteks pembahasan RUU Pemilu. Salah satu isu dalam RUU Pemilu adalah keserentakan Pemilu.
Sementara itu, Partai Demokrat menolak jika Pilkada digelar serentak dengan Pemilu nasional pada 2024. Demokrat ingin, Pilkada tetap digelar pada 2022 dan 2023. “Demokrat meminta agar Pilkada tahun 2022 dan 2023 tetap dilaksanakan, tidak digabung dengan Pileg dan Pilpres 2024,” ujar Kepala Badan Komunikasi Strategis (Bakomstra) DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra, dikutip dari Antara, Minggu lalu.
Tim PolBo – Jacky. W